This is default featured slide 1 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 2 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 3 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

Minggu, 21 Juni 2015

Menyiasati Mahalnya Biaya Pendidikan

Koran SINDO
Senin,  22 Juni 2015  −  10:47 WIB



Biaya pendidikan dari tahun ke tahun selalu mengalami kenaikan, bahkan sudah tergolong sangat mahal, khususnya bagi mereka yang ingin masuk perguruan tinggi favorit. Setiap keluarga perlu menyiasati fenomena ini agar anak mereka bisa terus kuliah. Tabungan pendidikan dan asuransi pendidikan bisa menjadi salah satu jalan keluar.

Presiden Direktur PT Manulife Aset Manajemen Indonesia (MAMI) Legowo Kusumonegoro mengatakan, kebutuhan biaya pendidikan sebagian besar keluarga di Indonesia masih mengandalkan dana tunai.

Artinya, biaya pendidikan belum direncanakan secara matang oleh sebagian besar masyarakat Indonesia. ”Keluarga di Indonesia masih sedikit memanfaatkan lembaga keuangan untuk mengelola dana pendidikan anak-anaknya,” ujar Legowo. Menurut Legowo, kalaupun mereka merencanakan biaya pendidikan anaknya, kebanyakan dana pendidikan tersebut mereka simpan di tabungan.

Padahal, pertumbuhan nilai uang di tabungan relatif lebih kecil dibanding inflasi maupun tingkat biaya pendidikan yang terus mengalami kenaikan. Agar keluarga tidak terjebak dengan tingginya biaya pendidikan, lanjut Legowo, mereka harus menyiapkan diri sedini mungkin. Mulai dari berhemat atas penghasilan yang dimiliki dan mengelola uangnya pada lembaga keuangan yang menjanjikan imbal hasil yang menarik.

Lebih jauh Legowo mengungkapkan, tingkat imbal hasil yang ditempatkan di tabungan dibandingkan di lembaga keuangan aset manajemen atau asuransi lebih kecil. Tingkat bunga yang ditawarkan tabungan maksimal sekitar 4,5%. Sedangkan inflasi di Indonesia jauh lebih tinggi dibandingkan angka tersebut. Sementara, di asuransi pendidikan pertumbuhan nilai uang itu bisa mengimbangi tingkat inflasi.

Menyoal kesiapan pendanaan untuk pendidikan, ada banyak produk yang ditawarkan oleh lembaga keuangan untuk mempersiapkan agar si anak dapat memasuki sekolah di setiap jenjangnya tanpa terkendala dana dari orang tua mereka. Di antaranya, tabungan pendidikan dan asuransi pendidikan. Kedua jenis produk ini memiliki risiko dan keuntungan yang berbeda.

Asuransi pendidikan merupakan kontrak antara perusahaan asuransi dengan nasabah yang merupakan orang tua anak. Nasabah setuju untuk membayar sejumlah premi asuransi secara berkala kepada pihak perusahaan asuransi. Nantinya, nasabah akan mendapatkan jumlah dana pendidikan tertentu dari perusahaan asuransi ketika anak memasuki usia sekolah sesuai dengan jenjang pendidikannya.

Sementara, tabungan pendidikan adalah kontrak antara bank dengan nasabah sebagai orang tua yang setuju bank mendebet sejumlah dana secara rutin dari rekening untuk disetorkan ke dalam rekening tabungan pendidikan anak. Dana hasil dari investasi setoran rutin tabungan tersebut baru dapat diambil saat anak memasuki usia sekolah sesuai dengan jenjang pendidikannya.

Tabungan pendidikan kadang juga ditambahkan manfaat proteksi yang berupa asuransi jiwa untuk mengantisipasi risiko terhentinya setoran rutin tabungan akibat kematian. CEO & President Director Cigna Indonesia Tim Shields mengatakan, perencanaan finansial yang matang akan memberikan kepastian dana yang dibutuhkan oleh anak untuk mengejar pendidikan lanjutan.

”Sebaiknya, orang tua melakukan survei untuk mempertimbangkan berapa kebutuhan dana yang diperlukan untuk setiap jenjang pendidikan. Ditambah lagi dengan menghitung peningkatan biaya hidup setiap tahunnya, sehingga dana yang dipersiapkan akan mencukupi kebutuhan,” ungkapnya.

Tim menambahkan, Cigna secara rutin melakukan penelitian terhadap kebutuhan nasabah. Dari riset tersebut, terlihat sebagian besar konsumen Indonesia kurang memahami berapa besar biaya yang dibutuhkan untuk dana pendidikan anak mereka. ”Bahkan, mereka juga mengalami kesulitan dalam memilih sekolah yang tepat dengan biaya yang terjangkau bagi anak yang mereka kasihi,” jelas Tim.

Padahal, sebagian besar orang Indonesia bersedia membayar premi untuk memungkinkan anak mereka untuk memiliki kualitas pendidikan yang baik. Praktisi Pendidikan Itje Chodidjah menuturkan, sebagian masyarakat kelas menengah telah berupaya memikirkan pendidikan anak-anak mereka dengan cara membuat tabungan pendidikan atau asuransi pendidikan. Namun, jumlah keluarga yang memikirkan hal ini masih sangat minim. ”Jumlahnya masih sangat minim. Tidak sedikit keluarga terjebak dengan memikirkan biaya hidupnya. Alih-alih untuk pendidikan,” ungkap Itje.

Zulhelmi, 40, salah seorang orang tua yang kini anaknya memasuki pendidikan tingkat SMA, mengaku pusing dengan biaya pendidikan anaknya yang harus disiapkan. Pasalnya, tahun lalu anak sulungnya baru saja masuk perguruan tinggi.

Biaya masuk pendidikan tersebut diambilkan dari pinjaman dan sisa penghasilan suami. Utang atas pinjaman belum selesai. ”Rasanya pusing, tahun lalu belum reda kini kembali harus berpikir mencari biaya pendidikan untuk adiknya,” akunya.



Ilham safutra/ Robi ardianto  


Sabtu, 20 Juni 2015

Teori Muliple Intelegences dari Dunia Psikologi ke Dunia Edukasi



Belajar mengajar merupakan hal yang tidak asing lagi dalam dunia pendidikan, kegiatan belajar inilah yang menjadi pokok atau tujuan dalam sebuah pendidikan. Dari belajar mengajar ini akan terjadi proses siswa untuk mendapatkan transfer ilmu dari guru dan gurupun mendapatkan ilmu baru dari siswa mereka untuk menjadikan kegiatan belajar lebih efektif dan bermakna. Dalam kegiatan belajar mengajar banyak sekali teori yang diterapkan oleh guru, mulai dari teori behavioristik, kognitifistik, konstruktifistik, humanistik sampai multiple intelegences. Salah satu teori yang sekarang sedang berkambang dan coba untuk diterapkan di sekolah Indonesia adalah teori multiple intelegences.
Dalam buku gurunya manusia karya Munif Chatib menyatakan bahwa, Multiple intelegences adalah sebuah teori kecerdasan yang dimunculkan oleh Dr. Howard Gardner, seorang psikolog dari Project Zero Harvard University pata 1983. Hal yang menarik, pada teori kecerdasan ini adalah terdapat usaha untuk melakukan redefinisi kecerdasan. Sebelum muncul teori multiple intelegences teori kecerdasan lebih cenderung diartikan secara sempit. Kecerdasan seseorang lebih banyak ditentukan oleh kemampuannya menyelesaikan serangkaian tes psikologis kemudaian hasil tes tersebut diubah menjadi angka standar kecerdasan.
Disini dapat dengan mudah kita bedakan antara pengertian multiple intelegences yang dibuat oleh Gardner dengan definisi kecerdasan yang telah berlaku sebelumnya. Dalam buku Gardner Frame of Mind, mengatakan bahwa “intelligence is the ability to find and solve problems and create products of value in one’s own culture”. Menurut Gardner kecerdasan seseorang adalah tiba-tiba dan tidak diuur dari hasil tes psikologi standar, namun dapat dilihat dari kebiasaan seseorang dalam dua hal. Pertama, kebiasaan seseorang menyelesaikan masalahnya sendiri (problem solving). Kedua, kebiasaan seseorang menciptakan produk-produk baru yang punya nilai budaya (creativity).
Kebiasaan “Problem Solving”
            seorang anak berusia golden age (0-8 tahun) melihat tangga di rumahnya. Sebenarnya, otak anak tersebut menanggap tangga adalah problem yang harus diselesaikan dan ditemukan jalan keluarnya, yaitu dengan menaiki tangga tersebu. Lalu, otakmemerintahkan anak untuk meniki tangga. Begitu tangga pertama berhasil dilalui , ada perasaan lega seta tantangan untuk terus menaiki tangga kedua dan seterusnya sampai puncak. Jika si anak berhasil sampai puncak, dalam otakanak tersebut telah tergores pengalaman menaiki tangga. Ini merupakan sebuah ibarat bab dalam sebuah pelajaran yang sudah tuntas dengan kompetensi dasar menaiki tangga.
Gambaran tersebut sebenarnya merupakan proses menuju cerdas yang dimaksud oleh Gardner sebagai kebiasaan “problem solving”. Namun kebanyakan orang tua dan guru yang melihat kejadian anak menaiki tangga, biasanya tidak memandang hal tersebut sebagai pembangun kecerdasan anak, tetapi justru berteriak kepada anak agar berhenti menaiki tangga, biasanya sang ibu atau ayah dengan cepat menarik anak tersebut, kemudian mencubit kaki anaktersebut sebagi hukuman tidak menuruti perintah orang tua. Orang tua yang seperti ini adalah orang tua yang telah membunuh salahsatu sumber kecerdasan anak, yaitu kebiasaan “problem solving”.
Anak yang ingin belajar memotong bawang dengan pisau, ketika melihat ibunya sedang memasak di dapur. Anak yang ingin mencoba menggunakan palu, ketika melihat ayahnya sibuk memperbaiki kursi yang rusak. Dan banyak kejadian lain yang secara tidak sadar orang tua telah melarang atau mencegah anak untuk melakukannya. Padahal, semua itu menjadi sember kecerdasan untuk anak-anak.
Kebiasaan Kreatif
            Kebiasaan anak untuk kreatif biasanya juga dipandang orang tua dengan pandangan yang negatif. Misalkan, mengotori tempat, suka bongkar barang-barang, suka membuat hal-hal yang aneh dan lain-lain. Kita sering melihat “pembunuhan tak sengaja” kreativitas sebagai sumber kecerdasan anak. Misalkan, pada bulan Ramadhan bulan puasa. Biasanya di akhir minggu menjelang hari raya Idhul Fitri, setiap ruang terutama ruang tamu dicat dengan cat terbaik. Setelah selasai, sehari kemudaian seorang anak menarik tangan ibunyadengan antusias dan tanpa dosa menunjukkan lukisan “pemandangan alam di hutan” buatannya di dinding ruang tamu yang baru saja dicat. Bisa kita bayangkan apa yang selanjutnya terjadi? Sang ibu tentunya akan marah dan lagi-lagi tangan si anak menjadi korban cubitan dan juga jadi bahan omelan.
            Coba kita renungkan kejadian tersebut. Sebenarnya anak ingin mengatakan kepadaibunya bahwa dia sdah menciptakan produk baru yang punya nilai budaya, yaitu gambar kreasinya di dinding ruang tamu. Dengan bentakan dan hukuman fisik dari si ibu, praktis kreativitas anak akan berhenti. Dan ibu tersebut telah membunuh salah satu sumber kecerdasan anaknaya.

Sejumlah Perguruan Tinggi Nilai Skripsi Masih Penting





Sabtu,  20 Juni 2015  −  03:16 WIB

Sejumlah perguruan tinggi menilai skripsi masih penting diterapkan bagi para mahasiswa sebagai salah satu penentu kelulusan mahasiswa Strata 1 (S1). (Ilustrasi/Sindonews).
BANDUNG - Adanya wacana dari Kementerian Riset dan Pendidikan Tinggi untuk menghapuskan skripsi sebagai salah satu penentu kelulusan mahasiswa Strata 1 (S1), disayangkan oleh sejumlah pihak.

Karena, metode penulisan skripsi sebagai pertanggung jawaban dan metode dokumentasi bagi mahasiswa, masih dinilai penting.

Rektor Institut Teknologi Bandung (ITB) Kadarsah Suryadi mengatakan, pihaknya tetap membutuhkan skripsi bagi mahasiswa.

Pasalnya, kemampuan mahasiswa dalam menulis skripsi dijadikannya sebagai kemampuan dalam berkomunikasi lewat tulisan.

Diakuinya, kebutuhan skripsi ini sangat bergantung pada kebutuhan setiap program studi (prodi).

“Untuk ilmu sosial mungkin skripsi sangat diperlukan, apalagi jika mahasiswa tersebut akan melanjutkan ke jenjang S2 dan S3. Tapi mungkin untuk prodi yang bersentuhan pada praktik langsung dengan industri, skripsi belum tentu dibutuhkan,” ujarnya.

Kementerian dalam hal ini, kata Kadarsah, memberikan pilihan pada setiap prodi maupun universitas sesuai dengan kebutuhan keilmuannya. Akan tetapi, hingga saat ini, ITB sendiri akan tetap memberlakukan adanya skripsi.

“Kami ingin mahasiswa terlatih dalam berkomunikasi baik secara verbal apalagi secara tulisan. Untuk itu skripsi masih kami anggap penting,” timpalnya. 

Sementara itu, Rektor Universitas Padjadjaran Tri Hanggono Achmad menyebutkan yang perlu dilihat, kebijakan itu bukan pada skripsinya. Menurut dia, masih banyak metode lain yang bisa ditempuh.

"Prinsipnya, kompetensi yang akan dicapai adalah kemampuan berpikir komprehensif dan akademik writing. Bentuknya tidak harus skripsi," ujar Tri.
Yang kalah penting, hasil akademik itu harus bisa diseminasikan. Bentuknya dapat berupa publikasi. Tri menyebutkan tanpa skripsi di akhir studi justru akan lebih sederhana.

Menurut Tri, skripsi itu hanya momentumnya. Ide penelitian dapat muncul dari awal. Bahkan ide itu dapat menjadi bagian riset dosen.

Dia menyebutkan, beberapa program studi malah tidak lagi menggunakan skripsi di akhir studi.

Terkait dengan kriteria kelulusan, Tri menyebutkan perlu dilakukan pengujian yang komprehensif. Tugas penulisan itu hanya menjadi bagian dari kriteria kelulusan.

Rektor Universitas Pendidikan Indonesia (UPI), Furqon mengemukakan pihaknya melihat hal itu masih sekedar wacana saja.

Dia menyakini bahwa pemerintah punya pertimbangan khusus untuk kebaikan masyarakat. Akan tetapi, dia juga berharap pemerintah bisa melihat perkembangan dunia pendidikan secara internasional juga.

“Di Amerika saja antar universitas memiliki syarat kelulusan yang berbeda-beda. Kita juga harus terbuka dengan dinamika perkembangan dunia pendidikan yang ada. Tapi tentu kita harus waspada dan tidak hanya sekedar ikut tren dalam membuat kebijakan semacam itu,” jelas mantan Kepala Badan Litbang Kemendikbud ini.

Meski demikian, menurutnya, mahasiswa S1 wajib belajar menulis. Pasalnya, salah satu kompetensi yang harus dimiliki mahasiswa tingkatan tersebut yakni kemampuan menyampaikan gagasan secara tertulis.

Perihal bentuk tulisannya seperti apa, itu bisa diatur sesuai kebutuhan. Karena jika tidak dengan skripsi pun, kata Furqon, masih ada jalur membuat Tugas Akhir atau membuat praktikum/kajian teoritik.

Teknik Pengumpulan Data Non Tes



TEKNIK PENGUMPULAN DATA NON TES
(Performent Assesment, Analisis Dokumen, Anecdotal Record, Daftar Cek/Cek List)
Makalah ini dibuat untuk memenuhi tugas mata kuliah
“Evaluasi Pembelajaran”



Oleh:
1.      Umi Milatul Khofifah             (D72213077)
2.      Wida Fitrana                           (D72213078)

Dosen Pembimbing:
Dr. M. Baihaqi, MA.

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN BAHASA ARAB
FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN AMPEL SURABAYA
2014




KATA PENGANTAR
Segala puji bagi Allah SWT yang telah memberikan Taufik dan hidayah-Nya kepada kita semua, sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini tepat pada waktunya – shalawat dan salam selalu kita curahkan kepada junjungan kita Nabi Muhammad saw beserta keluarga, sahabat dan pengikut beliau hingga akhir zaman
Dalam kesempatan ini kami menyampaikan ucapan terima kasih kepada bapak Dr. M. Baihaqi, MA. yang telah memberikan pengetahuan, arahan dan bimbingan kepada penulis sehingga dapat menyelesaikan tugas ini dengan baik dan tepat pada waktunya dengan judul “Teknik Pengumpulan Data Non Tes ( Performent Assesment, Analisis Dokumen, Anecdotal Record, dan Daftar Cek/Cek List”. Serta dalam penyempurnaan makalah ini.
Penulis menyadari bahwa dalam tulisan ini masih terdapat banyak kekurangan, baik dari segi penulisan maupun isi dari makalah ini. Oleh karena itu penulis mengharapkan kritik dan saran yang bersifat konstruktif dan membangun demi kesempurnaan makalah ini bermanfaat bagi penulis khususnya dan bagi pembaca umumnya.





                                                                        Surabaya, 13 Oktober 2014


                                                                                    Penyusun


BAB I
PENDAHULUAN
A.      Latar Belakang
Dalam proses belajar mengajar terdapat suatu kegiatan yang wajib dilakukan oleh seorang pendidik yaitu evaluasi. Yang mana evaluasi ini bertujuan untuk mengukur dan mengetahui seberapa besar hasil dari kegiatan belajar mengajar yang didapatkan oleh peserta didik, serta untuk melihat ke efisienan metode belajar mengajar yang diterapkan dalam sebuah kelas.
Untuk memperoleh informasi yang sebanyak-banyaknya tentang peserta didik diperlukan beberapa upaya yang harus dilakukan oleh pendidik, agar peserta didik dapat terus berkembang dan terus melangkah dalam dunia pendidikan.
Terdapat dua cara atau teknik pengumpulan data tentang peserta didik, yaitu: pengumpulan data secara tes dan pengumpulan data secara non tes.
Disini kami akan membahas tentang teknik pengumpulan data secara non tes yang meliputi performent assesment, analisis dokumen, anecdotal record, dan daftar cek/cek list.
B.       Rumusan Masalah
1.      Apakah yang dimaksud dengan teknik pengumpulan data secara non tes ?
2.      Apakah yang dimaksud dengan Performent Assesment ?
3.      Apakah yang dimaksud dengan Analisis Dokumen ?
4.      Apakah yang dimaksud dengan Anecdotal Record ?
5.      Apakah yang dimaksud dengan Daftar Cek/Cek List ?
C.      Tujuan Pembuatan Makalah
1.      Untuk mengetahui maksud dari pengumpulan data secara non tes
2.      Untk mengetahui maksud dari Performent Assesment
3.      Untuk mengetahui maksud dari Analisis Dokumen
4.      Untuk mengetahui maksud dari Anecdotal Record
5.      Untuk mengetahui maksud dari daftar cek/ cek list


BAB II
PEMBAHASAN

A.      Pengertian Data Non Tes
Teknik non tes merupakan salah satu teknik dalam mengenali dan memahami peserta didik sebagai individu.[1] Teknik ini berkaitan dengan prosedur pengumpulan data untuk memahami pribadi peserta didik pada umumnya yang bersifat kualitatif.
Teknik non tes merupakan teknik pengumpulan data yang tidak baku dan hasil rekayasa dari guru dan sekolah. Yang mana kegunaan dari teknik non tes ini adalah pengumpulan data yang tidak dapat dikumpulkan dengan teknik tes, seperti halnya kebiasaan belajar peserta didik baik dirumah maupun di sekolah yang didapat dari keterangan orang tua maupun dari lingkungan sekitar.
Teknik non tes ini sangat penting untuk dipahami, dimana data peserta didik tidak hanya menyangkut hal-hal yang bersifat kuantitatif yang bisanya berupa data kognitif, melainkan juga menyangkut hal-hal yang tidak kalah pentingnya untuk dikenali dan dipahami, yaitu data yang berupa kualitatif atau non kognitif dan lingkungan peserta didik.
B.       Performent Assesment
Performent assesment atau sering diartikan sebagai penilaian kinerja. Menurut trepeces (1999) mengartikan bahwa performent assesment adalah berbagai macam tugas dimana peserta tes diminta untuk mendemostrasikan pemahaman dan mengaplikasikan pengetahuan yang mendalam serta keterampilan di dalam berbagai macam konteks. Artinya, penilaian kinerja mengacu pada kemampuan siswa baik psikomotor, afektif, maupun kognitif.
Dengan demikian performent assesment adalah suatu bentuk penilaian dengan memberikan tugas atau aktivitas tertentu yang memiliki makna pendidikan kepada peserta didik.
Dalam suatu teknik pengumpulan data setiap teknik selalu memiliki kelebihan dan kelemahannya berikut kelebihan dan penilaian kinerja:
Kelebihan dari performent assesment adalah:
1.    Dapat memotivasi siswa agar aktif
2.    Menilai proses sebaik menilai hasil
3.    Membuat pembelajaran lebih bermakna dan mudah dipahami siswa dari konsep abstrak ke konkrit.
4.    Penggunaan penilaian kinerja konsisten dengan teori pembelajaran modern.
Kelemahan daari performent assesment adalah:
1.    Nilai bergantung pada hasil kerja
2.    Waktu terbatas
3.    Tidak semua materi pelajaran dapat dilakukan penilaian ini
4.    Tidak semua siswa mempunyai minat yang sama dalam proses kinerja pada topic tertentu.
Langkah-langkah dalam menyusun performent assesment, sebagai berikut:
1.      Identifikasi semua langkah-langkah penting yang diperlukan atau yang akan mempengaruhi hasil akhir yang terbaik.
2.      Tuliskan perilaku kemampuan-kemampuan spesifik yang penting dan diperlukan untuk menyelesaikan tugas dan menghasilkan hasil akhir yang terbaik.
3.      Usahakan untuk membuat kriteria-kriteria kemampuan yang akan diukur tidak terlalu banyak sehingga semua kriteria tersebut dapat di observasi selama siswa melaksanakan tugas.
4.      Definisikan dengan jelas kriteria kemampuan yang akan diukur berdasarkan kemampuan siswa yang harus dapat diamati (observable) atau karakteristik produk yang dihasilkan.
5.      Urutkan kriteria kemampuan yang akan diukur berdasarkan urutan yang dapat diamati.
6.      Bila perlu, periksa kembali dan bandingkan dengan kriteria kemampuan yang sudah dibuat sebelumnya oleh orang lain di lapangan.