Belajar mengajar merupakan hal yang tidak asing lagi
dalam dunia pendidikan, kegiatan belajar inilah yang menjadi pokok atau tujuan
dalam sebuah pendidikan. Dari belajar mengajar ini akan terjadi proses siswa
untuk mendapatkan transfer ilmu dari guru dan gurupun mendapatkan ilmu baru
dari siswa mereka untuk menjadikan kegiatan belajar lebih efektif dan bermakna.
Dalam kegiatan belajar mengajar banyak sekali teori yang diterapkan oleh guru,
mulai dari teori behavioristik, kognitifistik, konstruktifistik, humanistik
sampai multiple intelegences. Salah satu teori yang sekarang sedang
berkambang dan coba untuk diterapkan di sekolah Indonesia adalah teori multiple
intelegences.
Dalam buku gurunya manusia karya Munif Chatib menyatakan
bahwa, Multiple intelegences adalah sebuah teori kecerdasan yang
dimunculkan oleh Dr. Howard Gardner, seorang psikolog dari Project Zero Harvard
University pata 1983. Hal yang menarik, pada teori kecerdasan ini adalah
terdapat usaha untuk melakukan redefinisi kecerdasan. Sebelum muncul
teori multiple intelegences teori kecerdasan lebih cenderung diartikan
secara sempit. Kecerdasan seseorang lebih banyak ditentukan oleh kemampuannya
menyelesaikan serangkaian tes psikologis kemudaian hasil tes tersebut diubah
menjadi angka standar kecerdasan.
Disini dapat dengan mudah kita bedakan antara pengertian multiple
intelegences yang dibuat oleh Gardner dengan definisi kecerdasan yang telah
berlaku sebelumnya. Dalam buku Gardner Frame of Mind, mengatakan bahwa “intelligence
is the ability to find and solve problems and create products of value in one’s
own culture”. Menurut Gardner kecerdasan seseorang adalah tiba-tiba dan
tidak diuur dari hasil tes psikologi standar, namun dapat dilihat dari
kebiasaan seseorang dalam dua hal. Pertama, kebiasaan seseorang menyelesaikan
masalahnya sendiri (problem solving). Kedua, kebiasaan seseorang
menciptakan produk-produk baru yang punya nilai budaya (creativity).
Kebiasaan “Problem Solving”
seorang anak berusia golden age (0-8
tahun) melihat tangga di rumahnya. Sebenarnya, otak anak tersebut menanggap
tangga adalah problem yang harus diselesaikan dan ditemukan jalan
keluarnya, yaitu dengan menaiki tangga tersebu. Lalu, otakmemerintahkan anak
untuk meniki tangga. Begitu tangga pertama berhasil dilalui , ada perasaan lega
seta tantangan untuk terus menaiki tangga kedua dan seterusnya sampai puncak.
Jika si anak berhasil sampai puncak, dalam otakanak tersebut telah tergores
pengalaman menaiki tangga. Ini merupakan sebuah ibarat bab dalam sebuah
pelajaran yang sudah tuntas dengan kompetensi dasar menaiki tangga.
Gambaran tersebut sebenarnya merupakan proses menuju cerdas yang dimaksud
oleh Gardner sebagai kebiasaan “problem solving”. Namun kebanyakan orang
tua dan guru yang melihat kejadian anak menaiki tangga, biasanya tidak
memandang hal tersebut sebagai pembangun kecerdasan anak, tetapi justru
berteriak kepada anak agar berhenti menaiki tangga, biasanya sang ibu atau ayah
dengan cepat menarik anak tersebut, kemudian mencubit kaki anaktersebut sebagi
hukuman tidak menuruti perintah orang tua. Orang tua yang seperti ini adalah
orang tua yang telah membunuh salahsatu sumber kecerdasan anak, yaitu kebiasaan
“problem solving”.
Anak yang ingin belajar memotong bawang dengan pisau, ketika
melihat ibunya sedang memasak di dapur. Anak yang ingin mencoba menggunakan
palu, ketika melihat ayahnya sibuk memperbaiki kursi yang rusak. Dan banyak
kejadian lain yang secara tidak sadar orang tua telah melarang atau mencegah
anak untuk melakukannya. Padahal, semua itu menjadi sember kecerdasan untuk
anak-anak.
Kebiasaan Kreatif
Kebiasaan anak untuk
kreatif biasanya juga dipandang orang tua dengan pandangan yang negatif.
Misalkan, mengotori tempat, suka bongkar barang-barang, suka membuat hal-hal yang
aneh dan lain-lain. Kita sering melihat “pembunuhan tak sengaja” kreativitas
sebagai sumber kecerdasan anak. Misalkan, pada bulan Ramadhan bulan puasa.
Biasanya di akhir minggu menjelang hari raya Idhul Fitri, setiap ruang terutama
ruang tamu dicat dengan cat terbaik. Setelah selasai, sehari kemudaian seorang
anak menarik tangan ibunyadengan antusias dan tanpa dosa menunjukkan lukisan
“pemandangan alam di hutan” buatannya di dinding ruang tamu yang baru saja
dicat. Bisa kita bayangkan apa yang selanjutnya terjadi? Sang ibu tentunya akan
marah dan lagi-lagi tangan si anak menjadi korban cubitan dan juga jadi bahan
omelan.
Coba kita renungkan
kejadian tersebut. Sebenarnya anak ingin mengatakan kepadaibunya bahwa dia sdah
menciptakan produk baru yang punya nilai budaya, yaitu gambar kreasinya di
dinding ruang tamu. Dengan bentakan dan hukuman fisik dari si ibu, praktis
kreativitas anak akan berhenti. Dan ibu tersebut telah membunuh salah satu
sumber kecerdasan anaknaya.
0 komentar:
Posting Komentar