Sabtu, 20 Juni 2015

Teori Muliple Intelegences dari Dunia Psikologi ke Dunia Edukasi



Belajar mengajar merupakan hal yang tidak asing lagi dalam dunia pendidikan, kegiatan belajar inilah yang menjadi pokok atau tujuan dalam sebuah pendidikan. Dari belajar mengajar ini akan terjadi proses siswa untuk mendapatkan transfer ilmu dari guru dan gurupun mendapatkan ilmu baru dari siswa mereka untuk menjadikan kegiatan belajar lebih efektif dan bermakna. Dalam kegiatan belajar mengajar banyak sekali teori yang diterapkan oleh guru, mulai dari teori behavioristik, kognitifistik, konstruktifistik, humanistik sampai multiple intelegences. Salah satu teori yang sekarang sedang berkambang dan coba untuk diterapkan di sekolah Indonesia adalah teori multiple intelegences.
Dalam buku gurunya manusia karya Munif Chatib menyatakan bahwa, Multiple intelegences adalah sebuah teori kecerdasan yang dimunculkan oleh Dr. Howard Gardner, seorang psikolog dari Project Zero Harvard University pata 1983. Hal yang menarik, pada teori kecerdasan ini adalah terdapat usaha untuk melakukan redefinisi kecerdasan. Sebelum muncul teori multiple intelegences teori kecerdasan lebih cenderung diartikan secara sempit. Kecerdasan seseorang lebih banyak ditentukan oleh kemampuannya menyelesaikan serangkaian tes psikologis kemudaian hasil tes tersebut diubah menjadi angka standar kecerdasan.
Disini dapat dengan mudah kita bedakan antara pengertian multiple intelegences yang dibuat oleh Gardner dengan definisi kecerdasan yang telah berlaku sebelumnya. Dalam buku Gardner Frame of Mind, mengatakan bahwa “intelligence is the ability to find and solve problems and create products of value in one’s own culture”. Menurut Gardner kecerdasan seseorang adalah tiba-tiba dan tidak diuur dari hasil tes psikologi standar, namun dapat dilihat dari kebiasaan seseorang dalam dua hal. Pertama, kebiasaan seseorang menyelesaikan masalahnya sendiri (problem solving). Kedua, kebiasaan seseorang menciptakan produk-produk baru yang punya nilai budaya (creativity).
Kebiasaan “Problem Solving”
            seorang anak berusia golden age (0-8 tahun) melihat tangga di rumahnya. Sebenarnya, otak anak tersebut menanggap tangga adalah problem yang harus diselesaikan dan ditemukan jalan keluarnya, yaitu dengan menaiki tangga tersebu. Lalu, otakmemerintahkan anak untuk meniki tangga. Begitu tangga pertama berhasil dilalui , ada perasaan lega seta tantangan untuk terus menaiki tangga kedua dan seterusnya sampai puncak. Jika si anak berhasil sampai puncak, dalam otakanak tersebut telah tergores pengalaman menaiki tangga. Ini merupakan sebuah ibarat bab dalam sebuah pelajaran yang sudah tuntas dengan kompetensi dasar menaiki tangga.
Gambaran tersebut sebenarnya merupakan proses menuju cerdas yang dimaksud oleh Gardner sebagai kebiasaan “problem solving”. Namun kebanyakan orang tua dan guru yang melihat kejadian anak menaiki tangga, biasanya tidak memandang hal tersebut sebagai pembangun kecerdasan anak, tetapi justru berteriak kepada anak agar berhenti menaiki tangga, biasanya sang ibu atau ayah dengan cepat menarik anak tersebut, kemudian mencubit kaki anaktersebut sebagi hukuman tidak menuruti perintah orang tua. Orang tua yang seperti ini adalah orang tua yang telah membunuh salahsatu sumber kecerdasan anak, yaitu kebiasaan “problem solving”.
Anak yang ingin belajar memotong bawang dengan pisau, ketika melihat ibunya sedang memasak di dapur. Anak yang ingin mencoba menggunakan palu, ketika melihat ayahnya sibuk memperbaiki kursi yang rusak. Dan banyak kejadian lain yang secara tidak sadar orang tua telah melarang atau mencegah anak untuk melakukannya. Padahal, semua itu menjadi sember kecerdasan untuk anak-anak.
Kebiasaan Kreatif
            Kebiasaan anak untuk kreatif biasanya juga dipandang orang tua dengan pandangan yang negatif. Misalkan, mengotori tempat, suka bongkar barang-barang, suka membuat hal-hal yang aneh dan lain-lain. Kita sering melihat “pembunuhan tak sengaja” kreativitas sebagai sumber kecerdasan anak. Misalkan, pada bulan Ramadhan bulan puasa. Biasanya di akhir minggu menjelang hari raya Idhul Fitri, setiap ruang terutama ruang tamu dicat dengan cat terbaik. Setelah selasai, sehari kemudaian seorang anak menarik tangan ibunyadengan antusias dan tanpa dosa menunjukkan lukisan “pemandangan alam di hutan” buatannya di dinding ruang tamu yang baru saja dicat. Bisa kita bayangkan apa yang selanjutnya terjadi? Sang ibu tentunya akan marah dan lagi-lagi tangan si anak menjadi korban cubitan dan juga jadi bahan omelan.
            Coba kita renungkan kejadian tersebut. Sebenarnya anak ingin mengatakan kepadaibunya bahwa dia sdah menciptakan produk baru yang punya nilai budaya, yaitu gambar kreasinya di dinding ruang tamu. Dengan bentakan dan hukuman fisik dari si ibu, praktis kreativitas anak akan berhenti. Dan ibu tersebut telah membunuh salah satu sumber kecerdasan anaknaya.

0 komentar:

Posting Komentar